Dear senyum,
Bagaimana rasamu hari ini? Manis? Getir? Masam? Ah, apa pun
rasamu itu lebih baik dari bibir yang melengkung ke bawah.
Begini. Aku menyuratimu hari ini karena aku butuh alasan
untuk tersenyum. Salah ya? Seharusnya kamu adalah penyebab bahagia itu datang.
Begitu yang aku baca kemarin, entah di mana.
Kamu jangan gedhe rumangsa dulu. Aku sendiri berpendapat,
hanya manismu saja yang mengundang bahagia. Sementara bagianmu yang pahit malah
mengundang rasa bersalah. Dan rasa asammu bisa membuat belimbing wuluh rendah
diri. Dan untuk membuatnya enak lagi, butuh kamu yang banyak sebagai bahan
manisan. Caranya? Duh. Nanti kamu tanyakan pada orang lain saja ya? Aku tidak
pandai mengolah makanan. Jangan katakan itu pada calon suamiku nanti. Siapa pun
orangnya.
Senyum,
Kamu pernah dengar tentang “Hukum Ketertarikan”? Belum?
Kalau buku “The Secret” karya Rhonda Byrne sudah pernah baca? Sudah kan? Nah
iya. Jadi, menurut teori pengarangnya: Kalau kita menarik pikiran yang baik
pasti yang datang hal yang baik juga. Begitu pun sebaliknya. Dan tanpa kamu,
mana mungkin ada pikiran baik yang sudi duduk di dalam kepala untuk berbincang
menikmati secangkir kopi aroma melati? Hidup adalah cermin. Yang terbaik akan
terjadi saat kita tersenyum.
Sebenarnya, senyum, manusia banyak memiliki alasan untuk
menangis daripada tersenyum. Lebih banyak sebab untuk memalingkan muka dari
kamu, ketimbang memasang kamu di wajah kami. Termasuk wajahku. Karena pada
dasarnya manusia itu jarang bersyukur.
Lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil.
Lebih banyak yang kesepian daripada yang hatinya hangat.
Lebih banyak yang sendiri daripada yang berdua.
Lebih banyak yang tidak punya daripada yang berkelimpahan.
Kamu tentu paham betul tentang hal ini. Ada koran, ada
berita di televisi, ada Twitter. Ah. Twitter. Saksi bisu yang bersuara tentang
betapa sukarnya bersyukur.
Dear senyum,
Aku mau minta tolong: Ingatkan aku selalu padamu setiap kali
aku ingin menangis. Boleh? Aku mau mendatangkan hal-hal yang baik dalam
hidupku, bahkan yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. Kamu adalah asisten
semesta. Tolong bantu dia untuk membantu aku. Terima kasih sebelumnya.
Sudah dulu ya, senyum. Ini aku sudah seperti gila tersenyum
terus dari tadi karena kamu. Haha. Tapi lebih baik dianggap gila sih, daripada
terlihat waras tapi hancur di dalam?
Oh ya. Kamu boleh datang kapan saja. Saat aku bicara, saat
aku mengunyah makanan, saat aku dikritik dan dicerca, bahkan saat aku tidur.
The ultimate privilege is yours, senyum. Bibirku siap menerimamu kapan saja.
Haha. Koq jadi terdengar ambigu ya kalimat tadi? :D
Aku sayang kamu. Tolong terus ganggu aku.
Terimakasih :))