Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun? ,
Menghitung tetes demi tetes yang tiada habisnya. Sendirian...
Karena kau tak pernah ada. Karena kau tak pernah sadar. Karena kau selalu tiada.
Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun?
Menghitung tetes demi tetes, cintaku padamu yang mulai berhamburan
Berhamburan jatuh dan menghilang ditelan bumi.
"Bersamamu selalu menyenangkan." Nana merebahkan kepalanya ke pundak Rangga. Tersenyum sambil menatap hujan yang turun. "Jangan tinggalkan aku ya."
"Bersamamu selalu menyenangkan." Nana merebahkan kepalanya ke pundak Rangga. Tersenyum sambil menatap hujan yang turun. "Jangan tinggalkan aku ya."
"Tidak akan."
"Apakah kita bisa begini selamanya?"
"Selamanya sayang, yakinlah kepadaku."
"Kau tidak menyesal melamarku padahal aku belum lulus kuliah?"
Rangga tersenyum lembut,
"Kenapa tidak? Kau bisa menikah, dan tetap kuliah."
"Benar juga." Nana tertawa, "Tetapi hanya kau yang bekerja untuk rumah tangga kita nanti."
"Siapa bilang?" Rangga mengerutkan keningnya, pura-pura tampak serius. "Aku akan menagihkan semua pengeluaran yang kukeluarkan untukmu begitu kau lulus kuliah dan menerima gaji pertama di pekerjaanmu."
Mereka lalu tertawa bersama, sambil menatap hujan turun.
"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
***
Selamanya sayang, yakinlah kepadaku......Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu..."
Kalimat itu terngiang ditelinga Nana sederan aliran hujan yang turun, sekarang, di depan makam Rangga dengan tanah merah yang masih basah. Apakah Rangga kedinginan di bawah sana? Pertanyaan itu menggayutinya, menghancurkan hatinya, membuatnya memeluk dirinya sendiri yang gemetaran.
Nana tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Sampai dengan kemarin, yang terbentang di depannya adalah kebahagiaan, kebahagiaannya bersama Rangga. Tetapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kekasihnya direnggut dari sisinya tepat sehari sebelum pernikahan mereka. Rangga meninggal karena kecelakaan, ketika mencari rangkaian buket bunga untuk pengantinnya di saat-saat terakhirnya.
Mereka bilang jenazah Rangga menggenggam bunga itu ketika ditemukan.... bunga mawar putih dengan kelopaknya yang hancur berguguran terkena benturan....bunga itu tidak putih lagi, berubah merah, terpercik darah Rangga. Dan jantung Rangga sudah berhenti berdetak. Sudah tidak berdetak untuk Nana lagi, terkubur diam di sana, dalam tanah yang dingin, tidak terjangkau.
Apakah yang dipikirkan Rangga pada saat-saat terakhirnya? Nana mengernyit, tak mempedulikan hujan deras yang membasahi pakaian dan rambutnya sampai kuyup, dia berdiri dengan tegar, di depan makam itu, menatap nisannya dengan nanar. Apakah Rangga memikirkan dirinya? Pernikahan mereka? Air mata mulai menetes lagi di mata Nana, mata yang sudah kelelahan meneteskan kesedihannya. Bagaimana mungkin Rangga meninggalkannya seperti ini? Bagaimana mungkin Rangga tega? Nana berhak marah bukan? Tetapi apa gunanya dia marah? Rangganya sudah tidak ada, dan kesedihan sudah menelannya sampai remuk redam.
Pelaminan itu kosong sekarang, tak akan pernah ditempati. Persiapan pesta berubah menjadi duka yang kelabu dan tumpahan air mata. Hati Nana hancur, hancur sejak Rangga pergi meninggalkannya, selamanya.
***
Nana mendesah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah langit. Ini masih jam dua siang, tapi mendung menggayut seakan terlalu berat membawa isiannya yang kelabu, membuat langit makin menggelap. Hujan yang turun pasti akan deras sekali. Nana menoleh ke kiri dan kanan dengan cemas, angkot yang ditunggunya belum tampak juga. Kalau sampai hujan deras turun dan dia belum dapat angkot, Nana akan kehujanan.
Dia harus mencari tempat berteduh. Putusnya ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi tubuhnya, menimpa kepalanya. Pandangannya terpaku pada sebuah cafe di sudut jalan. Cafe itu tampak nyaman, dengan kanopi hijau dan tulisan "Warung Kopi Purnama" dengan huruf putih dan merah tebal berlatar hitam tergantung di ujung depan, seolah-olah memanggilnya. Itu warung kopi kuno, alih-alih seperti sebuah coffe shoop, malahan lebih mirip bangunan masa lampau yang salah tempat di tengah-tengah gedung-gedung ruko yang begitu tinggi.
Sejenak Nana merasa ragu, tetapi hujan turun makin deras, hingga dia akhirnya memutuskan masuk. Suasana tampak sepi, dan ternyata bagian dalam warung kopi itu lebih bagus daripada bagian luarnya. Seperti cafe jaman belanda, dengan dinding berwarna krem dan kursi meja yang terbuat dari kayu jati, dengan hujan yang turun deras di sana, suasana tampak lebih dramatis.
Ini adalah jenis cafe dimana Nana bisa duduk berjam-jam tanpa bosan. Nana duduk, lalu memesan secangkir kopi, dan roti bakar sebagai temannya. Sepertinya dia akan lama di sini menunggu hujan, jadi tidak ada salahnya dia memesan makanan. Nana menolehkan kepalanya ke sekeliling. Suasana Cafe cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati kopi di sana, mungkin berteduh, mungkin juga sedang bernostalgia.
Ketika pesanannya datang, Nana mengeluarkan buku, tetapi setelah beberapa lama mencoba berkonsentrasi membaca, dia menyerah. Hujan itu menghalau konsentrasinya, dia lebih tertarik menatap hujan, menghitung helaan buliran air yang menghempas tanah, dan mengenang Rangga. Hari itu juga hujan, ketika Rangga kecelakaan. Apakah hujan jugakah yang membunuh kekasih hatinya?
Suara berisik di pintu mengalihkan perhatian Nana dari hujan, dia mengernyit dan terpana menatap sosok yang memasuki pintu dengan rambut basah. Rangga?
Sejenak jantung Nana berdegup kencang. Tetapi kemudian kesadarannya kembali, itu sudah pasti bukan Rangga. Rangganya sudah meninggal karena kecelakaan itu, dia sendiri yang menaburkan bunga terakhir ke sana sebelum mereka mengubur jenazahnya. Bagaimana bisa dia mengira orang ini sebagai Rangga?
Lelaki itu menatap ke arah Nana, lalu berkedip sejenak, kemudian mengalihkan matanya, dan melangkah menuju sudut lain di warung kopi itu, Nana terus mencuri-curi menatapnya, mencoba menemukan jawaban. Lelaki ini tidak mirip dengan Rangga, apalagi penampilannya berbeda. Rangga selalu rapi, sederhana dan tampan dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Sedangkan lelaki ini berbeda, lebih urakan, lebih santai sekaligus elegan dengan rambut cokelat tua dan mata cokelat muda, hidung mancung dan bibir tipis yang sangat sesuai dengan keseluruhan wajahnya yang maskulin. Lelaki ini begitu tampan, seperti lukisan. Jenis lelaki yang sudah pasti dihindarinya, karena pasti seorang pemain perempuan.
Dengan gugup Nana meneguk kopinya, berusaha menenangkan diri. Kenapa dia begitu tertarik dengan lelaki ini, seolah tidak mampu mengalihkan pandangannya? Dan kenapa dia langsung teringat kepada Rangga? apa karena caranya memasuki ruangan? dengan rambut basah tapi tidak peduli, khas Rangga. Dan kenapa pula Rangga terus memenuhi pikirannya, bahkan ketika dia sudah ingin melangkah, meninggalkan masa lalu dan melupakan Rangga? Apakah ini pertanda bahwa dia tidak boleh melupakan kekasihnya itu?
***
"Mungkin kau salah lihat, atau kau terbawa lamunan sehingga kau berpikir lelaki itu tampak mirip dengan Rangga." Nirina melirik ke arah sahabatnya yang begitu murung setelah bercerita.
Nana menghela napas, "Masalahnya lelaki itu tidak mirip dengan Rangga. Dia lebih seperti pangeran hedonis yang salah tempat di warung kopi itu."
"Kalau kau sebegitu penasarannya, kenapa kau tidak mendekati laki-laki itu?"
Nana mengerjapkan matanya, "Aku... aku takut..."
"Takut apa? Takut jadi korban pesona sang pangeran hedonis?" Nirina terkekeh
Bukan. Gumam Nana dalam hati. Aku takut kalau aku sudah gila dan mengira semua orang sebagai Rangga. Aku takut kalau ternyata aku hidup di dunia khayalanku selama ini.
Nirina menatap Nana dengan simpati, sahabatnya itu masih sering melamun dan tampak sedih, bahkan setelah setahun kematian Rangga. Ya, siapa juga yang tidak sedih, ditinggalkan kekasihnya sehari sebelum pernikahan mereka, kalau Nirina mungkin tidak akan bisa setegar Nana menghadapinya.
"Datanglah ke sana lagi."
"Apa?" Nana mendongakkan kepalanya, mengernyit.
"Datanglah ke warung kopi itu lagi, mungkin saja kau akan berjumpa laki-laki itu lagi, Entah dia memang mirip Rangga atau dia hanya halusinasimu, setidaknya kau tidak akan bertanya-tanya lagi."
***
Nana melangkah ragu memasuki warung kopi itu. Hari ini, tepat seminggu kemudian, pada jam yang sama, hari yang sama. Dia duduk dan memesan seperti biasa, lalu menunggu sambil mengeluarkan buku bacaan yang selalu dibawanya kemana-mana, terjemahan novel sastra inggris lama lama, berjudul Jane Eyre.
Hari ini juga sama, hujan turun begitu deras di luar, mendung membuat langit menghitam, sehingga suasana sore ini tampak seperti malam. Dan Nana menunggu. Menunggu laki-laki yang mirip Rangga itu.
Lama. Hampir satu jam Nana menunggu, tetapi lelaki itu tak kunjung datang. Mungkin dia tak akan datang lagi, Nana mendesah. Mungkin kemarin memang hanya halusinasinya. Halusinasi yang muncul kala hujan turun. Karena dia terlalu merindukan Rangga...
Warung kopi itu sudah hampir tutup karena sore sudah menjelang. Dan meskipun hujan masih turun dengan derasnya di luar, Nana mengemasi tasnya, kemudian melangkah pergi. Dengan gontai, dia berjalan menyusuri trotoar, berpayungkan payung kecil warna merah hati. Entah kenapa dia merasakan sebersit kekecewaan karena ternyata laki-laki itu tidak ada. Yah, lagipula apa yang diharapkannya? Mana mungkin sebuah kebetulan terjadi dua kali?
"Nona. Tunggu sebentar."
Langkah Nana terhenti ketika menyadari panggilan itu ditujukan kepadanya. Kepada siapa lagi? Trotoar itu sepi karena semua orang memilih berteduh di dalam, menghindari hujan deras.
Dengan hati-hati Nana membalikkan badannya, dan untuk kesekian kalinya.... tertegun.
Lelaki itu. Dan memang tidak mirip dengan Rangga. Sedang melangkah tergesa mengejarnya, tanpa mempedulikan baju dan rambutnya yang basah kuyup di terpa hujan. Novel Jane Eyre-miliknya terlindung dalam lengan laki-laki itu.
***
"Kau meninggalkannya di meja ." Lelaki itu berdiri, begitu tinggi menjulang di atas Nana, membuat Nana harus mendongakkan kepalanya ketika menatapnya.
Ketika Nana tidak berkata apa-apa, lelaki itu terkekeh, "Aku biasanya mampir di warung kopi itu pukul empat, sepulang kuliah, tetapi hari ini terlambat, karena hujan deras membuat jalanan macet dan banjir, ketika aku datang cafe sudah hampir tutup dan aku melihat buku itu di meja, dan melihatmu melangkah di trotoar ketika aku masuk. Betul bukan ini bukumu?" Lelaki itu mengulurkan bukunya, suara laki-laki itu mengeras, mencoba mengalahkan derasnya hujan.
Nana masih terpana menatap sosok itu, kemudian mengerjap ketika mendapati lelaki itu menatapnya dengan bertanya-tanya, dia lalu menganggukkan kepalanya dan menerima buku itu, dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tasnya.
"Terimakasih."
"Sama-sama. Namaku Reno."
Nana menelan ludahnya,
"Oh...aku Nana." dengan gugup dia menghela napas. Sudah selesai. Lelaki ini sama sekali tidak mirip dengan Rangga, mungkin Nana memang sudah sedikit gila, mengira semua lelaki sebagai Rangga . Nana mencoba membalikkan tubuhnya, "Terimakasih, aku.. aku harus pergi."
"Nana." Reno menggenggam tangannya, menahan Nana, ketika Nana hanya terdiam dan melirik tangan Reno yang mencengkeram tangannya, lelaki itu langsung melepaskannya dan berdiri dengan gugup.
"Eh.. maaf, aku merasa, mungkin kita bisa lebih mengenal lagi. Aku juga suka membaca, meskipun sastra inggris kuno bukanlah kesukaanku." Reno tampak terkekeh lagi, begitu ceria. "Kau akan sering ada di warung kopi itu kan?"
Nana tercenung. Beranikah dia? Bertemu lagi dengan lelaki ini? Hening yang lama, kemudian dia mengangguk,
"Mungkin aku akan datang ke sana, ketika aku ingin menikmati secangkir kopi dan menghitung hujan." jawabnya pelan,
Reno mengangguk, "Menghitung hujan, istilah yang bagus, itulah yang sering kulakukan setiap sore di warung kopi itu. Semoga aku beruntung bisa menjumpaimu lagi di sana. Sampai jumpa Nana."
Dan kemudian lelaki itu membalikkan tubuhnya, berlari menembus hujan deras. Nana terpaku menatapnya, sampai bayangan lelaki itu tertelan kabut hujan.
***
"Jadi, kau tidak berani ke sana lagi?" Nirina menatapnya dengan mencemooh, "Kau menjanjikan sesuatu pada seseorang, lalu kau mengingkarinya."
Nana memalingkan muka, tidak kuat menanggung rasa bersalah, Memang dia pengecut. Sangat pengecut. Ini sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan lelaki bernama Reno yang sangat mirip Rangga itu, dan Nana sama sekali tidak berani menginjakkan kakinya ke warung kopi itu. Dia... takut, entah kenapa.
"Untuk apa aku ke sana Nirina? toh aku hanya memandang lelaki itu sebagai pengganti Rangga, sebagai orang yang entah kenapa mirip dengan Rangga."
"Tetapi dia bukan Ranggamu, kau sendiri yang bilang kalau penampilan mereka berbeda."
"Dia tetap mirip Rangga. Bukan dari segi fisik, dia mirip dengan cara yang berbeda." Dan Jantungku berdebar setiap ada di dekatnya. Nana mendesah, putus asa.
Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nana. Kau tahu, aku sedih melihatmu terpuruk seperti ini. Sudah setahun sejak kematian Rangga, dan kau seharusnya sudah melangkah. Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Mungkin Tuhan punya misteri dan rencana tersendiri mempertemukanmu dengan lelaki yang mirip Rangga, mungkin. Dan kau tidak akan mengetahui rencana apa itu, kalau kau takut melangkah."
"Jadi menurutmu aku harus menemui laki-laki itu?"
Nirina mengangkat bahunya, "Mirip atau tidak dengan Rangga. Setahuku, laki-laki itu adalah satu-satunya yang kau pikirkan selain Rangga. Temuilah dia."
***
"Hai." Nana berdiri gugup, di depan laki-laki itu yang sedang menundukkan kepala, tenggelam dalam bacannya.
Reno mendongakkan kepalanya. Sekejap dia mengerjapkan matanya, seolah terkejut, tetapi kemudian senyumnya terkembang,
"Nana." senyumnya makin melebar, "Duduklah."
"Kau ada di sini setiap sore?" Nana mengalihkan pandangan ke luar. Entah kenapa hujan turun lagi dengan derasnya, dan entah kenapa nana tidak kuat menghadapi pandangan tajam laki-laki itu.
"Setiap sore." Reno meletakkan bukunya, "Sepertinya kau sangat sibuk ya."
Nana menganggukkan kepalanya gugup. Dia tidak sibuk apa-apa. Dia cuma tidak berani datang dan menemui Reno, tetapi kebohongan itu sudah meluncur mulus di bibirnya.
"Aku sibuk dengan kuliah dan pekerjaan rumahku bulan ini, jadi tidak sempat keluar-keluar,"
Reno menatapnya memaklumi. Meskipun Nana sadar, Reno jelas-jelas mengerti bahwa Nana sudah berbohong kepadanya.
"Aku senang pada akhirnya kau bebas dan bisa datang." Lelaki itu menunjukkan sampul buku yang dibacanya, "Lihat aku sudah menyelesaikan satu set buku ini sambil duduk di sini setiap hari.
Nana melirik ke sana. Bacaan itu tidak dikenalnya, bukan tipe bacaan yang disenangi Nana.
"Kau tidak tahu ya. Ini novel karangan Michael Scott, yang ada di tanganku ini adalah buku ke enam dari serial The Secret of The Immortal Nicholas Flamel, yang ini judulnya The Enchantress." Reno tetap menjelaskannya meskipun judul buku itu sudah tertera jelas di halaman depannya, membuat Nana tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Tidak." Nana menahan kekehan gelinya, "Hanya saja buku itu bukan tipeku."
"Ah tentu saja. Kau penggemar bacaan romansa gelap dari masa lalu, kisah pengasuh yang jatuh cinta kepada majikannya yang dingin, kejam dan tak berperasaan tetapi sebenarnya romantis." Reno mencibir, "Tipikal bacaan perempuan."
"Tapi kau tahu isi Jane Eyre, berarti kau membacanya."
Reno memutar bola matanya, "Aku ingin tahu, ketika melihat seorang perempuan meninggalkannya di meja sebuah cafe, jadi aku mencari tahu dan membacanya."
Nana terpana, lalu tersenyum. Hatinya terasa hangat, entah kenapa. Sudah lama sekali dia tidak merasakan kehangatan ini. Sama seperti dulu, ketika bersama Rangga, berdebat masalah buku di tengah hujan, perasaannya sama. Dan meskipun secara fisik Reno berbeda jauh, lelaki ini mengingatkannya kepada Rangga. Mengingatkannya kepada masa-masa bersama Rangga.
"Kau belum memesan. Aku rekomendasikan kau membeli roti Palm Suiker sebagai teman minum kopimu." Lelaki itu mengedipkan matanya ke arah buku menu.
Nana mengernyit. Biasanya dia hanya memesan roti bakar standar sebagai teman minum kopinya di sini, "Apakah enak?"
"Enak kalau sambil minum kopi diiringi hujan, sambil menyantap selembar roti sederhana yang ditaburi brown sugar dengan aroma harum yang khas."
"Kau membuat air liurku keluar." Nana tertawa, lalu memesan roti itu, dan secangkir kopi. "Sampai di mana kita tadi?"
"Sampai ketika aku bilang bahwa perempuan selalu menyukai tipikal penjahat romantis di buku-buku roman mereka."
Dan percakapan itu berlanjutlah. Di tengah hujan deras yang mengiringi di luar, diantara harumnya uap beraroma kopi dan harumnya roti yang baru keluar dari pemanggangan. Nana terlarut bersama Reno, di sebuah warung kopi yang temaram.
***
Bersambung ke Part 2 ..
Cerita ini karya Sandy Agatha
Aku ingat
bagaimana caramu tertawa..
Aku ingat
bagaimana caramu menunjukkan dunia..
Meski kita sudah
tak berjumpa sekian purnama..
Wajahmu bersih
tanpa noda dan tanpa dosa..
Suaramu semerdu
nyanyian surga..
Kedamaian menyapa
setiap kali kamu menawarkan telinga..
Itulah kenapa
setiap saat bersamamu aku ingin berlama-lama..
Bersamamu aku
merasa bisa menghadapi dunia..
Kamu selalu di
sana dan menjadi saksinya..
Dari saat mimpiku
baru sekedar wacana..
Sampai saat
mimpiku menjadi nyata..
Aku ingat saat
pertama kali mata kita berteguran..
Senyum ramahmu
menyuguhkan kenyamanan..
Dan senyum itu
menciptakan sebuah keyakinan..
Kamu dan aku
memang akan berjalan beriringan..
Dari kamu aku
belajar tentang keberanian..
Bersamamu aku
berani membuat keputusan..
Karena kamu aku
bisa mengalahkan keangkuhan..
Dan demi kamu juga
aku berani melakukan pengorbanan..
Aku ingat hal-hal
bodoh yang pernah ku lakukan dulu..
Tapi itu semua tertebus
oleh sebuah tangisan haru..
Aku ingat saat
pertama aku memelukmu..
Sengaja lama-lama
aku ciumi pundakmu..
Seakan-akan aku
bisa menghirup aroma bebanmu di situ..
Saat itu lah aku
merasa menjadi pria berguna bagimu..
Tapi aku sadar,
hidup ini mungkin terlalu panjang untuk cerita cinta kita..
Aku sadar, masa
lalu biarlah menjadi nostalgia..
Aku yakin, ini
memang saatnya kamu membiarkanku sendiri menghadapi dunia..
Karena hanya kamu
yang bisa benar-benar mengenaliku apa adanya..
Awalnya, aku
mengira jarak lah yang patut disalahkan..
Tapi sekarang aku
mengerti, kita lah yang layak dipertanyakan..
Mungkinkah cinta
ini hanya sekedar selingan?
Atau cinta ini
layak dibawa hingga akhir kehidupan?
Aku percaya jarak
tak pernah salah..
Aku percaya jarak
tak mampu membuat cinta musnah..
Aku percaya jarak
tak pernah jahat..
Aku percaya jarak
justru mendidik kita jadi pasangan yang hebat..
Tapi tampaknya
kini kau menyerah..
Dan aku pun tak
bisa melawan atau menebar amarah..
Karena kisah ini
berawal dengan pertemuan yang indah..
Aku tak ingin
semuanya diakhiri dengan rasa gelisah..
Aku ikhlas
melepaskanmu..
Akan ku ceritakan
kisah kita kepada anak-cucuku..
Agar mereka tau,
aku pernah menghidupi kisah cinta sehebat itu..
Agar mereka sadar,
cinta itu tak hanya sekedar "aku mencintaimu"..
Selamat tinggal
cinta..
Terima kasih untuk
pelajarannya..
Aku tak pernah
berfikir ini semua sia-sia..
Justru kisah ini
membuatku semakin dewasa..
Untuk menyikapi
ceritaku di bab berikutnya..
Halo teman-teman..
Maaf akhir-akhir ini agak malas ngeblog. Pasalnya waktu gue
bener-bener habis buat ngerjain laporan magang di weekdays, dan ngabisin nonton
film korea di weekend. Praktis, kepala gue keperes abis-abisan buat nulis dan
nonton film. So, ide buat ngeblog kadang numpang lewat doang, karena stamina
buat nulis udah keburu abis.
By the way, taun baru udah mau lewat ini.. Kalian udah nyiapin apa aja? Mimpi baru?
Semangat baru? Pacar baru? Judul Skripsi? Kendaraan pribadi? Minyak wangi? Atau nggak
nyiapin apa-apa karena nggak punya pasangan sehati? Oke.. Mari kita renungkan
dulu makna tahun baru.
Setiap pergantian tahun, selalu ramai suara ledakan kembang
api, pawai kendaraan bermotor, maupun pesta terompet. Kira-kira kenapa
orang-orang melakukan hal itu ya?
Dari pengamatan gue, ada 2 tipe orang yang merayakan tahun
baru:
A. Orang yang merasa layak merayakan pergantian tahun karena
dia merasa cukup sukses menjalani tahun sebelumnya.
B. Orang yang merasa mendapatkan harapan baru di tahun yang
baru, setelah banyak kegagalan yang dia terima di tahun sebelumnya.
Nah, lo masuk yang mana?
Saran gue, kalo bisa kita semua termasuk dalam golongan
orang "A" di atas. Di mana setiap kita merayakan tahun baru, artinya
kita merayakan sebuah kesuksesan. Bukan cuma mencari pengharapan tanpa
menyesali kegagalan yang sudah kita ciptakan.
Kalo gue, lebih suka menyikapi tahun baru sebagai batas dari
target hidup tahunan yang gue ciptakan setiap tahun. Sudah berapa banyak yang
gue wujudin, dan berapa banyak yang masih susah buat didapetin. Dengan kata
lain, event tahun baru adalah waktu yang pas buat mengintrospeksi diri, agar
nggak lupa diri. Zaman gue remaja, tahun baru hanya berarti sebagai waktu yang
tepat untuk hura-hura, merayakan sesuatu yang belum gue tahu gunanya apa.
Nah, untuk orang-orang di golongan "B", buat gue
mereka adalah laskar pemimpi. Setiap tahun mereka bikin target baru, tapi
semangat berjuangnya cuma bertahan seminggu. Misal, targetnya tahun depan harus
langsing. Minggu pertama rajin fitness dan diet, minggu kedua udah males
fitness dan masih nyoba diet, di minggu ketiga mereka udah berenti fitness dan
diet, lalu mikir "Aku mau tampil apa adanya ah~". Iya, resolusi
tahunannya bertahan kurang dari sebulan. Dan sayangnya, hal itu terulang setiap
tahun.
Kadang tanpa sadar, kita ini jadi manusia yang terlalu
sering berharap, tapi jarang berusaha. Akhirnya yang kita petik cuma kecewa.
Lalu menyalahkan nasib karena tak pernah memberi apa yang kita minta. Padahal,
gue percaya bahwa nggak ada mimpi yang terlalu muluk, yang ada cuma usaha yang
kurang keras. Kita kadang haus motivasi, tapi terlalu malas untuk beraksi.
Itulah kenapa, om Mario Teguh masih laris di negeri ini. Mimpi tanpa aksi,
namanya angan-angan. Nggak bakal jadi kenyataan.
Kita mencintai tempat, hewan, manusia, kenangan, makanan, sastra, musik, tulisan.
Dan kadang-kadang, kau bertemu dengan seseorang, yang membutuhkan semua cinta yang kau punya. Dan jika kau kehilangan orang tersebut, kau akan berpikir semuanya akan berakhir. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.
Seseorang mengatakan, kau bisa merindukan seseorang, meskipun kau sedang dikelilingi oleh banyak orang lain. Mereka itu seperti, pelengkap saja. Mereka bagaikan kabut, mereka kerumunan yang tak berarti.
Mereka… Mereka pengganggu.
Lalu kau mencoba melupakan semuanya dalam kesendirian, tapi kesendirian hanya membuatmu semakin lemah.