Kau dan aku lebih murni dari petikan sastra romantis,
meski kisah kita tak seindah cinta dalam sejarah.
Kita dan dua cangkir kopi,
lalu menghitung hujan sambil mendengarkan debaran sendiri
Dua cangkir kopi berteman hujan
Dua cangkir kopi lebih indah dari simfoni
Jadi tetaplah ada.
Kau dan aku, dan dua cangkir kopi.
“Ini adalah kakak lelakimu.” Ibu Dewi menunjuk ke anak lelaki kurus di foto itu, yang dirangkul oleh ayahnya, kemudian menatap Diandra dengan sedih, “Seandainya saya punya kesempatan untuk memberitahu tentangnya sejak awal Diandra, tetapi kau telah hidup dalam kehidupan baru yang bahagia, dan orangtuamu memutuskan untuk menjagamu dengan tidak memberitahukan informasi apapun, hal itu menahan saya untuk mengganggu kehidupanmu dengan informasi ini.
Ibu Dewi menghela napas panjang lalu melanjutkan, “Kakak lelakimu berumur tiga tahun ketika kecelakaan yang menewarkan kedu orang tuamu terjadi, kalian berdua diserahkan di panti asuhan ini bersama-sama. Sayangnya, kakakmu terlalu besar usianya dan anak yang sudah terlalu besar biasanya jarang sekali diminati untuk diadopsi. Pada akhirnya kakakmu harus berpisah denganmu karena orangtua angkatmu memilihmu untuk diadopsi.” Ibu Dewi menatap Diandra lembut, “Meskipun terpisah, saya tahu kakakmu selalu mencintaimu. Dia tumbuh dan besar di sini, kami menyekolahkannya karena dia sangat pandai, di pagi hari dia bersekolah dan setelahnya dia membantu di panti asuhan ini, bekerja apapun yang bisa dilakukan untuk membantu kami. Dan ketika usianya 17 tahun, dia memutuskan bahwa dia sudah dewasa sehingga meninggalkan panti asuhan ini dan menjalani hidupnya sendiri. Dia sukses dalam kehidupannya, dan walaupun begitu kakakmu tidak pernah lupa mengunjungi kami, katanya dia menganggap panti asuhan ini adalah rumahnya, Saya ingat dia selalu datang di hari raya, membawakan makanan dan baju baru yang begitu banyak untuk anak-anak panti di sini.” Mata ibu Dewi menerawang.
Diandra menatap perempuan setengah baya di depannya itu dengan penuh harap, informasi ini benar-benar mengejutkannya sekaligus membuatnya bertekad. Dia memiliki seorang kakak kandung, lelaki yang sukses kalau menurut kisah ibu Dewi ini. Jadi dimana dia bisa menemukan kakak lelakinya itu?
“Di mana saya bisa menemukan kakak saya, ibu?” Diandra menyuarakan pertanyaan di benaknya, menatap ibu Dewi sepenuh rasa penasarannya.
Tetapi seketika itu juga ada mendung menggumpal di wajah ibu Dewi, mata perempuan itu tampak berkaca-kaca.
“Karena itulah tanpa mempedulikan semua aturan, waktu itu saya menghubungi orangtuamu Diandra. Karena menurut saya kau harus tahu.” Ibu Dewi menatap Diandra dalam-dalam, “Rangga, kakak lelakimu sudah meninggal karena kecelakaan yang menimpanya.
Seketika itu juga Diandra dan Axel berpandangan, mata mereka menyuarakan pertanyaan yang sama,
Rangga??
***
Nana turun dari taxi di depan rumahnya dan langsung menghambur masuk, dia hampir saja bertabrakan dengan mamanya yang menyambutnya di depan, diikuti oleh Nirina yang masih menunggu di sana,
“Reno di sini?”
Nana bertanya dengan suara serak, ketakutan. Apakah ketakutannya benar-benar akan menjadi kenyataan? Apakah kata-kata Reno sebelum pergi tadi menunjukkan bahwa dia akan melakukan sesuatu yang nekat seperti bunuh diri?
Jantung Nana berdebar. Tuhan. Nana tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai terjadi sesuatu pada Reno. Dan itu murni... murni dia mencemaskan lelaki itu, bukan karena ada jantung Rangga di dalam tubuhnya!
Mama Nana menatap Nana yang panik sambil mengangkat alisnya,
“Tidak Nana, Reno tadi pergi untuk menemuimu di apartemen Rangga, apakah kau tadi ada di sana? Apakah kau bertemu dengannya?”
Wajah Nana pucat pasi,
“Ya aku bertemu dengannya di apartemen... kemudian aku..aku setengah mengusirnya.” Mata Nana tampak berkaca-kaca, “Lalu dia pergi dan mengucapkan kata-kata yang membuatku takut....”
“Nana.” Mama Nana memeluk pundak Nana dengan lembut, “Ayo kita masuk dulu Nana. Tenang dulu...”
***
“Rangga?” Akhirnya Axel dan Diandra menyuarakan pertanyaan itu bersamaan, tiba-tiba saja napas Diandra terasa cepat dan kepalanya pening.
Tidak mungkin bukan? Tidak mungkin Rangga yang itu bukan?
Nama Rangga terpatri jelas di benak Diandra, itu adalah lelaki yang menyumbangkan jantungnya untuk Reno, memberikan kehidupan kepada kekasihnya, sekaligus merenggut cinta Reno untuknya.
Apakah mungkin Rangga yang itu? Bagaimana bisa suatu kebetulan berjalan seperti ini?
“Ya Diandra, Rangga adalah nama kakakmu, nama yang sama yang diberikan oleh orang tua kandungmu. Dia meninggal karena kecelakaan lebih dari setahun yang lalu.” Ibu Dewi menatap Diandra dengan menyesal, “Seandainya aku bisa memberitahumu lebih awal, tetapi Rangga sendiri juga tidak menyarankan untuk menghubungimu..”
“Rangga mengetahui tentang siapa diriku?” Diandra bertanya bingung, kalau begitu kenapa kakaknya tidak pernah menghubunginya?
“Ya, Rangga tahu tentu saja, dia bahkan selalu mengawasimu dengan diam-diam. Katanya dia tidak mau menunjukkan jati dirinya dan menghancurkan apa yang sudah kau percayai... yah orangtuamu tidak pernah mengatakan bahwa kau anak angkat, Rangga takut kalau kau tahu bahwa kau anak angkat, kau akan sedih...” Ibu Dewi tersenyum, rupanya kenangannya akan Rangga begitu indah, ‘”Karena itulah Rangga menahan diri, menatapmu dalam diam dan mengawasimu, dia bilang lebih baik dia menahan diri asal kau bahagia.”
Axel tampak tak sabar dengan pertanyaan yang menderanya,
“Rangga yang ini, apakah dia mendonorkan jantungnya setelah meninggal?”
Ibu Rahma menatap Axel tak kalah terkejutnya,
“Wah ternyata anda sudah tahu ya?”
Hening...
Hening yang lama dan tak terisi. Wajah Diandra pucat pasi.
***
“Tunggu, kau kan bisa menelepon Reno.” Nirina akhirnya memberi usul sambil membawakan air putih kepada Nana yang panik.
Mama Nana duduk di sebelah Nana, memeluk anaknya dan berusaha menguatkannya. Nana pasti benar-benar shock, mengingat pengetahuan yang diperolehnya mengenai jantung siapa yang ada di dada Reno. Apalagi setelah Nana merasa bisa melangkah dan menyimpan Rangga dalam kenangan lalu belajar mencintai Reno.
“Ah yaa...” Karena begitu paniknya, Nana sama sekali tidak memikirkan tentang menelepon Reno dengan ponselnya. Setidaknya dia bisa mencegah Reno kalau memang benar lelaki itu ingin bertindak nekat, dan setiaknya dia bisa tahu bahwa Reno baik-baik saja. Betapa bodohnya dia karena tidak sadar dari tadi.
Nana menelepon Reno, dan menunggu dengan jantung berdebar sampai nada sambung terdengar, satu kali, dua kali.... dan sampai lama tidak ada yang mengangkat di seberang sana, membuat Nana merasa sesak di dada.
Lalu setelah tiga kali mencoba, telepon itu diangkat, tetapi bukan suara Reno yang menjawab.....
***
“Jadi... Rangga kakak saya adalah Rangga yang juga mendonorkan jantungnya?” Diandra gemetaran tak terkendali, sudah mengetahui jawabannya meskipun dia sendiri tidak mampu menerima kebenaran itu.
“Ya. Dan ternyata kalian sudah tahu....., Rangga merahasiakan keputusannya itu. Pada suatu hari dia datang dan meminta tandatangan saya, sebagai keluarga yang akan mengurus seluruh izin karena dia menandatangani persetujuan untuk mendonorkan jantungnya ketika dia meninggal nanti. Waktu itu saya sempat bertanya kenapa dia berpikiran seperti itu. Sangat jarang ada manusia yang berpkiran untuk mendonorkan organ tubuhnya dengan pemikiran kalau dia mati nanti itu akan berguna untuk orang lain, apalagi seperti Rangga yang masih muda, semua tentu mengira bahwa usianya masih panjang.” Ibu Dewi mendesah, “Mungkin itu lebih seperti sebuah firasat....”
Darah Diandra seakan surut dari kepalanya hilang entah kemana, seluruh tubuhnya dingin, membuat Axel cemas dan meremas jemari Diandra lembut.
“Kau tidak apa-apa Diandra?” Axel menatap wajah Diandra yang pucat pasi.
Ibu Dewi juga melihat ekspresi Diandra dan cemas juga, mungkin perempuan di depannya itu terlalu shock mendapati kenyataan yang baru ditemukannya, dia lalu berdiri dan mengambilkan segelas air dari dispenser, Axel menerimanya dan membantu Diandra minum.
Setelah meminum dia tegukan, Diandra menghela napas panjang, berusaha menormalkan paru-parunya yang tadi terasa sesak.
Jadi benarkah? Benarkah Rangga, kakak kandungnya yang mendonorkan jantungnya untuk Reno?
“Kenapa Rangga tiba-tiba memutuskan untuk mendonorkan jantungnya, ibu?” Axel tiba-tiba bertanya.
Ibu Dewi tersenyum lembut,
“Karena Diandra.”
“Karena saya?” suara Diandra seperti tercekik.
“Karena Rangga selalu mengawasimu... dia melihat bagaimana kau berjuang setia kepada kekasih yang hidupnya hanya bersandar pada ada atau tidaknya donor jantung untuknya. Ya Diandra, Rangga mengetahui itu. Mungkin dia kemudian terinspirasi ketika mengetahui bahwa banyak sekali penderita penyakit jantung yang membutuhkan tranplatasi terkatung-katung, menunggu donor. Mungkin dia jadi berpikir untuk berpartisipasi ketika dia meninggal nanti. Aku yakin sekali Rangga tidak berkeinginan meninggal dengan begitu cepat, dia baru saja akan menapaki kebahagiaan rumah tangga, akan menikah dengan kekasihnya yang sangat cantik, Nana namanya, Rangga pernah menunjukkan fotonya kepada saya, dia bahkan belum sempat membawa Nana kemari untuk dikenalkan kepada saya, sungguh gadis yang malang.” Mata Ibu Dewi menerawang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin suatu saat kau bisa menemuinya Dianda, bagaimanapun dia pernah menjadi calon kakak iparmu, pernah begitu dicintai oleh mendiang kakakmu.”
Diandra tertegun. Tidak percaya akan semua kebetulan ini. Dia tidak tahu apakah harus tertawa ataukah menangis. Rangga adalah kakak kandungnya, lelaki itu mendonorkan jantungnya karena terinspirasi oleh keadaannya. Pasti tidak pernah terpikirkan oleh Rangga bahwa jantungnya akan begitu cocok dengan Reno, kekasihnya. Pasti tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa jantungnya akan membuat kekasih adiknya berpaling hati, meninggalkan Diandra dan mencintai Nana.
Dunia memang begitu rumit, penuh dengan kebetulan yang tak terbaca hati, membuat Diandra kebingungan setengah mati.
Di dalam dada lelaki yang sangat dicintainya... di dalam dada Reno... ada jantung Rangga kakak kandungnya.
***
Mereka kemudian berpamitan. Dan karena ibu Dewi tampaknya benar-benar tidak tahu kepada siapa akhirnya jantung Rangga didonorkan, Axel dan Diandrapun tidak memberitahukan bahwa jantung itu telah menyelamatkan nyawa Reno, kekasih Diandra.
Mereka duduk di mobil, dalam keheningan, masih shock atas apa yang baru saja mereka lalui.
Tangan Axel ada di kemudi, tetapi dia tidak menjalankan mobilnya. Lelaki itu menoleh ke Diandra yang merenung dengan ekspresi kosong, kemudian jemarinya terulur, menyentuh rambut Diandra dengan lembut,
“Kau tidak apa-apa?”
Diandra mengangkat kepalanya, menatap Axel yang begitu tampan. Selama ini Diandra tahu bahwa Axel tampan, di masa SMU dulu, Diandra bahkan pernah membantu Axel membalas surat-surat cinta dari teman sekolahnya ketika dia berlibur ke Bandung. Axel selalu mempunyai banyak wanita yang mengejar-ngejarnya sejak dulu. Dan Diandra yakin penggemar Axel pasti banyak sampai sekarang, mengingat semakin bertambahnya usia, ketampanan Axel semakin matang, membuatnya menjadi magnet bagi perempuan manapun. Diandra sendiri tidak pernah terkena pengaruh magnet itu karena dia selalu menganggap Axel saudaranya.
Tetapi sekarang.... setelah dia tahu bahwa dia dan Axel tidak bersaudara, akankah dia..
Diandra menghela napas panjang, mengusir pikiran-pikiran yang memberatkan hatinya itu. Nanti. Semua akan dipikirkannya nanti, semuanya terasa terlalu berat kalau dipikirkan sekaligus, membuat dadanya terasa sesak.
“Aku tidak apa-apa.” Akhirnya Diandra bergumam serak, menatap Axel dengan lembut, “Antarkan aku ke makam Rangga ya.”
Ibu Dewi telah memberitahukan lokasi makam Rangga kepada Diandra. Dan Diandra ingin ke sana, setidak nya untuk meyakinkan hatinya, bahwa dia sebenarnya memiliki seorang kakak, yang selalu mencintai dan mengawasinya diam-diam.
Air mata Diandra menetes satu persatu membasahi pipinya. Seandainya Rangga memutuskan untuk menemuinya, akankah keadaannya menjadi berbeda? Seandainya Diandra punya kesempatan untuk menemui Rangga ketika kakaknya masih hidup, akankah kebahagiaan akan melingkupi mereka semua?
Kenapa dia ditakdirkan mengetahui punya seorang saudara kandung, ketika saudaranya itu telah meninggalkan dunia ini? Tanpa memberi kesempatan baginya untuk bertemu, untuk berkenalan atau bahkan untuk menyayangi?
Diandra menangis terisak-isak dan Axel menatapnya dengan sedih, lelaki itu lalu merangkul Diandra supaya dekat ke dadanya dan menangis di sana.
Ah, merasakan rapuhnya Diandra di pelukannya membuat jantung Axel terasa diremas. Betapa Axel ingin menanggung semuanya untuk Diandra.... betapa inginnya Axel agar Diandra tidak menangis lagi...
***
Mereka sampai di pemakaman sepi itu, pemakaman sepi yang indah dan tertata rapi. Axel turun lebih dulu dari mobil, kemudian menggandeng lengan Diandra untuk turun bersamanya, mereka berjalan dalam keheningan, mengikuti arah yang diberitahukan oleh Ibu Dewi, dan menemukan makam Rangga.
Lalu makam itu ada di sana. Dengan nisan bertuliskan nama Rangga, dan sebuah kutipan puisi perpisahan yang memilukan di sana.
‘Kau dan aku- Kita. Lebih murni dari petikan sastra romantis, meski kisah kita tak seindah cinta dalam sejarah, Tapi janji yang diiringi debaran jantung itu hanyalah milik kita. Dan meskipun debaran itu sudah tak ada, cinta ini akan selalu terjaga – Mencintaimu selalu, Nana’
Ini petikan perasaan Nana untuk Rangga. Tiba-tiba batin Diandra terenyuh, terasa begitu pedih. Rangga, kakak yang tidak pernah diketahuinya hingga saat ini memiliki kekasih yang sangat mencintainya.
Dan juga sangat dicintainya..... Diandra merenung, sangat dicintainya sampai membuat jantung Rangga tetap berdetak untuk Nana, bahkan ketika jiwa Rangga mungkin sudah tidak ada di dunia ini.
“Kakak....” Diandra bergumam pelan, tiba-tiba merasakan kesedihan yang mendalam karena tidak pernah bisa memanggil nama Rangga ketika kakaknya itu masih hidup.
Axel melirik ke arah Diandra yang semakin lama semakin tampak rapuh, dia merangkul Diandra ke dalam pelukannya, memberinya kekuatan dan merasa sangat bahagia ketika Diandra tidak menolak pelukannya.
***
“Reno?” Nana masih memanggil nama Reno meskipun dia tahu bahwa yang menjawab teleponnya bukan Reno.
“Halo? Siapa ini?” jawab seorang lelaki dengan sura berat.
“Ini sendiri siapa? Saya bisa bicara dengan Reno? Ini nomor HP Reno bukan?”
“Reno yang mengalami kecelakaan? Saya petugas rumah sakit, ponselnya masih saya pegang, saya sedang berusaha menghubungi orangtuanya...”
Telepon itupun jatuh dari tangan Nana.
***
Ponsel Diandra bergetar di sakunya, membuat Diandra tersadar dari isak tangisnya dan mengerutkan kening. Diambilnya ponsel itu dari sakunya dan mengerutkan keningnya ketika melihat nama mama Reno di layarnya.
“Halo mama?” Diandra bergumam lemah, kenapa mama Reno meneleponnya? Dulu Diandra dan mama Reno sangat akrab, apalagi mengingat mama Reno tidak punya anak perempuan, Diandra selalu menjadi anak perempuan kesayangan mama Reno, mereka sering menghabiskan waktu bersama, bercakap-cakap, berbelanja bersama, bahkan ke salon bersama. Hubungan mereka memang agak renggang setelah Reno meninggalkan Diandra begitu saja. Yang pasti Diandra merasakan kecanggungan dari mama Reno setelahnya, tentu saja... mengingat betapa kejamnya perlakukan Reno kepada Diandra, pasti mama Reno merasa bersalah kepada Diandra.
Sejak kejadian itu Diandra jarang berhubungan dengan mama Reno lagi, bahkan hanya sekedar untuk mengirim kabar pun tidak pernah terpikirkan olehnya, dan sekarang mama Reno menghubunginya, pasti ada hal penting tentang Reno.
Tetapi kemudian yang terdengar di sana bukanlah seperti yang diharapkannya. Itu suara isakan, mama Reno menangis!
“Mama sedang dalam perjalanan ke Bandung, Diandra bersama papa.” Diandra memang memanggil mama dan papa Reno dengan sebutan ‘mama’ dan ‘papa’. “Reno....” suara mama Reno tertelan isak tangis, tersedu-sedu. “Reno kecelakaan Diandra, kami tadi menghubungi orang tuamu dan mereka ada di Bandung, semoga kau mau ke sana lebih dahulu Diandra...” mama Reno menyebut nama rumah sakit swasta terkenal yang terletak di pusat kota Bandung.
Jantung Diandra berdebar kencang, dia menatap Axel dengan panik, membuat Axel yang tidak bisa mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya dengan bingung,
“Ada apa?” Axel bertanya penasaran.
Diandra membalikkan tubuhnya, meninggalkan Axel begitu saja, membuat Axel mengejarnya dengan penasaran, lelaki itu akhirnya mengejar Diandra, mencekal lengan perempuan itu dan semakin mengerutkan keningnya ketika melihat air mata Diandra yang berderai,
“Diandra? Ada apa?”
Diandra memalingkan mukanya,
“Antarkan aku ke rumah sakit segera, Reno kecelakaan!”
***
Nana merasakan air matanya berderai, ketakutan. Kalau sampai terjadi apa-apa kepada Reno, maka kesalahan terbesar ada di pundaknya. Dia menolak Reno dengan kasar, tidak mau menerima apapun penjelasan lelaki itu, hanya mementingkan perasaannya sendiri, kebingungannya terhadap keberadaan jantung Rangga di dalam dada Reno.
Memangnya kenapa kalau ada jantung Rangga di sana? Harusnya Nana menyadari bahwa dia sudah bertekat meletakkan Rangga ke dalam kenangannya, sebuah kenangan indah yang akan selalu terpatri ke dalam benaknya. Bukankah Nana sudah bertekad untuk mencintai Reno dan membuka hatinya kepada lelaki itu?
Bukankah dia dan Reno sekarang masih hidup dan mereka berhak untuk saling mencintai?
Seharusnya Nana memberi kesempatan untuk Reno, bukannya mengusirnya seperti itu, dengan kasar dan tidak memberinya harapan lagi.
Nana memegang pinggang Nirina erat-erat ketika Nirina meliukkan motornya mencoba menyelip di antara kemacetan kendaraan di lampu merah. Sahabatnya itu mengebut, mengantarnya ke rumah sakit dengan segera untuk melihat keadaan Reno.
Apakah Reno sengaja? Mengingat kata-kata terakhir Reno sebelum meninggalkan apartemennya... apakah lelaki itu sengaja dalam kecelakaan ini?
Tidak! Nana langsung membantah pikirannya itu. Reno tidak akan melakukannya. Nana percaya Reno tidak akan membuang kesempatan kedua untuk menjalani kehidupannya.
Dan sekarang Nanalah yang memohonkan kesempatan kedua untuk dirinya dan Reno. Nana bersumpah dia akan berusaha mengubah segalanya jika Tuhan memberinya kesempatan kedua.
Oh Tuhan... selamatkanlah Reno.
***
Untunglah mereka menggunakan motor, karena mereka bisa menembus kemacetan dengan cepat. Setelah menemui resepsionis mereka diinfokan bahwa Reno masih ada di UGD. Nana setengah berlari ke sana diikuti Nirina.
Dia berjalan ke seluruh UGD, menoleh ke kiri dan kanan kemudian dia tertegun.
Dian... Diandra ada di sana. Sedang berbicara dengan dokter.
Menghitung hujan dengan percaya, bahwa suatu hari kan menemukan bahagia
Kau aku dan mimpi untuk memeluk sang belahan jiwa.
Yang dengannya jantung ini berdebar lebih kencang
Kau dan aku. Kita selalu bersama.
Bangun sayang, lepaskan mimpimu
Ada aku di sini, di dunia nyata
Menunggu untuk mencintaimu.
Langkah Nana langsung terhenti, dia tertegun dan kemudian menatap Diandra dengan pilu. Ada lelaki itu, Axel.. lelaki yang menemuinya di kampus dan mengungkapkan semuanya kepada Diandra. Lelaki itu sekarang berdiri di sebelah Diandra, lengannya merangkul perempuan itu seakan menopangnya.
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Tetapi pada detik yang sama, Diandra menoleh dan menatap Nana yang berdiri tertegun di ujung koridor, perempuan itu tampak sama terkejutnya dengan Nana, ekspresinya berubah jadi pucat pasi, sementara Nana sendiri berdiri di sana dengan bingung, tak tahu harus berbuat dan berkata apa.
Sementara itu, Nirina menoleh ke arah Nana yang membeku dan menatap bingung, tetapi kemudian dia tidak peduli, dengan cepat digandengnya Nana mendekat,
“Dokter, apakah yang ada di sana Reno, teman saya?” Nirina bergumam cepat, menyela percakapan Dokter itu yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu kepada Diandra,
Dokter itu menoleh, menatap Nirina dengan bingung, sementara itu Nana berdiri di belakang Nirina dengan wajah merah padam, sedikit kebingungan.
“Oh... teman Reno.” Dokter itu tersenyum, “Reno tidak apa-apa nona, tetapi kaki kanannya patah sehingga untuk sementara setelah kami melakukan operasi, dia harus duduk di kursi roda, selain itu kami telah memeriksa seluruhnya, ada beberapa memar, tetapi tidak ada gegar otak.” Dokter itu lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah Diandra, “Kami akan menunggu kedatangan orang tua tunangan anda, untuk menjelaskan dengan lebih terperinci .”
“Ya, mama dan papa akan segera datang.” Diandra segera menjawab, berusaha tidak peduli akan keterkejutan di mata Nana ketika dokter itu menyebut Diandra sebagai tunangan Reno. Ya. Diandra memang memperkenalkan diri kepada dokter itu sebagai tunangan Reno, meskipun dia tadi merasa Axel sedikit menegang di sebelahnya ketika dia mengatakan itu.
Diandra lalu menyalami dokter itu, mengucapkan terima kasih dan kemudian dokter itu berpamitan pergi.
Sementara itu mereka berempat berdiri dengan canggung di ruangan itu, dalam keheningan. Dalam kamar yang berdinding kaca, nampak Reno yang masih tak sadarkan diri berbaring diam dalam ketidaksadarannya. Nirina sendiri menjadi canggung ketika mendengar dokter tadi menyebut perempuan di depannya itu sebagai tunangan Reno. Seketika Nirina sadar kalau perempuan itu adalah Diandra, tunangan yang ditinggalkan Reno demi mengejar Nana.
Lama sekali keheningan yang menyesakkan itu, Nana dan Diandra sama-sama membeku, dalam suasana yang canggung, sampai akhirnya Axel berdehem memecah suasana,
“Eh... kami rasa kami akan duduk di sebelah sana.” Axel setengah menghela Diandra ke arah kursi tunggu di ujung di dekat pintu kamar Reno. Mereka memang belum diizinkan masuk dan mengunjungi Reno karena lelaki itu masih dalam penanganan.
Mata Nana mengikuti ke arah Diandra, yang menghindari kontak mata dengannya dan ke arah Axel yang berjalan di sampingnya dan kemudian mengajaknya duduk di kursi itu.
Sampai kemudian Nirina menyenggol tangannya, mereka saling bertukar pandang penuh pengertian,
“Ayo kita duduk di sebelah situ.” Nirina mengajak Nana duduk di kursi tunggu lain yang agak jauh dari tempat Axel dan Diandra duduk.
Dalam hati Nana sungguh bersyukur karena tadi dia bersama Nirina, tak bisa dibayangkan betapa canggungnya dia tadi kalau datang ke sini sendirian, mungkin Nana akan benar-benar bingung dan membeku saja.
Sebelum duduk, Nana menoleh ke arah Reno yang terbaring di ranjang itu, dengan mata terpejam lelap. Rasa syukur membanjiri tubuh Nana, begitu lega rasanya melihat Reno masih ada di sana, masih hidup..... dan masih memberikan Nana kesempatan untuk menenbus kesalahannya.
Mereka kemudian duduk dalam diam, dan menunggu. Nana sibuk dengan pikirannya sendiri, dan merenung, kehadiran Diandra menyadarkannya, bahwa selain masalah Rangga, masih ada hubungan Reno dengan Diandra yang membuat Nana merasa ragu untuk melangkah. Dari kisah Axel, Nana tahu bahwa Reno telah sangat menyakiti Diandra, bahwa Reno telah bersikap tidak adil kepada perempuan itu. Bahwa Diandra seharusnya berhak mendapatkan kebahagiaan seperti yang diimpikannya...... sebelum semua keadaan berubah.
Nana mengernyit, tidak bisa membayangkan kalau dia yang berada di posisi Diandra, dia pasti akan hancur lebur dan tak kuat lagi. Nana masih beruntung, Rangga meninggalkannya karena takdir, setidaknya Rangga meninggalkannya dengan masih membawa cinta dan setianya, sementara itu Diandra ditinggalkan dengan alasan kejam bahwa Reno tidak mencintainya lagi.
Benar-benar... Nana sangat mengagumi ketegaran Diandra, perempuan itu masih kuat berdiri di sana, menunggui Reno, menjaga dan mengejar cinta sejatinya. Nana tidak akan pernah bisa sekuat dan setegar Diandra, dan mungkin juga, cinta Nana bahkan tidak akan bisa menyaingi besarnya cinta Diandra kepada Reno.
Dan perempuan itu bahkan tidak menyerangnya, melemparkan tatapan mata penuh kebencian atau mencacimakinya.... Nana menghela napas panjang, meskipun dia tidak bersalah langsung dalam hal ini karena sebelumnya dia tidak tahu apa-apa, tetapi tetap saja kehadiran Nana yang menjadi ganjalan, yang menjadi pemisah antara Nana dan Diandra.
Mungkin seharusnya Diandra memang mencacimaki Nana.... kalau saja Nana tidak ada di dunia ini, kalau saja dalam keputusasaannya waktu itu Nana memilih mengikuti Rangga, mungkin Diandra dan Reno akan baik-baik saja....
Sebutir air mata menetes dari sudut mata Nana, tetapi kemudian dia menyusutnya dalam diam yang pilu.
***
“Kau tidak apa-apa?” Axel berbisik pelan kepada Diandra, melirik sedikit ke arah Nirina dan Nana yang duduk agak jauh di seberang sana dalam diam.
Diandra menatap Axel penuh arti lalu menghela napas panjang,
“Aku tidak apa-apa. Aku lebih memikirkan Reno, karena dia belum sadar juga.”
“Reno pasti baik-baik saja, kau dengar kan kata dokter tadi?” Axel tampak merenung, tetapi kemudian dia bertanya, “Kenapa kau mengatakan kepada dokter itu bahwa kau tunangan Reno? Apakah kau.... “ Axel menelan ludahnya, “Apakah dalam hatimu kau masih merasa menjadi tunangan Reno? Masih berharap pertunangan kalian akan berlanjut?” Ada nada pahit di sana, di dalam suara Axel, setelah menyatakan perasaannya secara terang-terangan kepada Diandra, Axel juga tidak menutup-nutupi kecemburuannya.
Diandra melemparkan tatapan tegas ke Axel.
“Dengan mengaku tunangannya..... dokter akan menganggapku keluarga, jadi dia akan memberikan informasi yang lebih mendetail.”
Axel menatap jawaban diplomatis Diandra dengan tatapan tak percaya,
“Bagaimana dengan pertanyaanku? Apakah jauh di dalam hatimu kau masih menganggap Reno sebagai tunanganmu?”
“Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu itu sekarang Axel, jangan sekarang.” Sela Diandra cepat, membuat Axel mengehela napas panjang.
Oke. Sekarang dia akan bersabar dengan Diandranya.
***
Reno bermimpi. Mimpi yang sangat dalam dan jauh. Dia sampai di taman itu dan duduk di sana kebingungan.
Lalu seorang lelaki asing tiba-tiba saja duduk di sebelahnya, semula Reno tidak menyadari siapa dia, tetapi ketika dia mengingat, wajah itu... dan foto sekilas yang pernah dilihatnya dari hasil penelusurannya....
Rangga....
Benarkah dia bertemu Rangga? Kalau begitu dia sudah mati?
Rangga tersenyum ke arah Reno dan kemudian bergumam tenang,
“Pulanglah Reno. Semua akan baik-baik saja.”
Reno tersentak, dan kemudian merasakan dirinya tersedot ke dalam gumpalan putih yang merenggut kesadarannya...
***
“Diandra!”
Itu suara mama Reno, perempuan setengah baya itu berjalan tergesa menghampiri Diandra, Diandra segera berdiri dan memeluknya,
“Bagaimana Reno?” air mata mama Reno berderai. “Kau sudah lama di sini sayang?”. Tadi Diandra berusaha menghubungi mama Reno setelah menerima kabar dari dokter, tetapi teleponnya tidak tersambung. Jadi pantas saja kalau mama Reno benar-benar panik sekarang.
“Reno tidak apa-apa mama, tidak ada gegar otak, memar-memar meamang ada di seluruh tubuhnya, dan kakinya patah.”
“Astaga.” Mama Reno terisak lagi, dan papa Reno menggenggam jemarinya dengan lembur memberi kekuatan, “Bisakah kita menengoknya?” mama Reno melangkah ke jendela kaca besar tempat Reno terbaring di atas ranjang di dalamnya, “Bisakah kita menengoknya?”
“Tadi masih belum boleh mama;” gumam Diandra pelan, “Kata dokter, Reno masih dalam penanganan dan persiapan untuk operasi pemasangan pen untuk tulangnya yang patah setelah kondisinya stabil. Dan juga Reno belum sadar, mungkin lebih baik kita menemui dokter sekarang, dokter bilang ingin bicara dengan mama dan papa untuk membahas kondisi Reno.”
“Oke kalau begitu kita ke sana.” Mama Reno merangkul Diandra, dan kemudian berjalan ke lorong dan melewati Nana yang duduk di sana.
Tidak sekalipun mama Reno menoleh ke arah Nana, hanya Diandra yang sedikit melemparkan pandangan tak tertebak ke arah Nana. Ketika mama dan papa Reno beserta Diandra dan Axel melangkah pergi, Nana menatap mereka semua sampai di ujung lorong dan benar-benar merasa seperti orang luar yang tak berhak berada di sana.
Ah Ya Tuhan, apakah memang ini bukan tempatnya?
***
Reno membuka matanya seketika itu juga dan megerang. Rasa sakit menderanya dan dia merasa pening. Reno memandang ke sekeliling ruangan dan menyadari dia berada di rumah sakit.
Ingatannya membayang mundur dan dia ingat, dia menyetir dengan kalut pulang dari apartemen Rangga setelah Nana menolaknya, dan kemudian kecelakaan itu terjadi.
Kakinya terasa sakit, dan berat, dengan hati-hati Reno mengangkat kepalanya dan melihat bahwa sebelah kakinya digantung dengan gips besar di sana.
Yah, dia telah berbuat bodoh, kurang hati-hati menyetir dan melukai kakinya sendiri. Reno membatin, dan kemudian tiba-tiba teringat akan mimpinya. Mimpi dengan Rangga di dalamnya.
Benaknya berusaha mencari jawaban, apakah itu benar-benar Rangga yang sesungguhnya yang muncul di mimpinya? Ataukah itu hanya manifestasi dari seluruh pikirannya yang berkecamuk? Mungkin di alam bawah sadarnya, Reno mengharapkan restu dari Rangga. Restu dari Rangga untuk mencintai Nana...
Nana..... tiba-tiba Reno merasa pusing di kepalanya, kalau Nana tahu dia mengalami kecelakaan, perempuan itu pasti mengira dia sedang berusaha berbuat bodoh dengan mencoba bunuh diri atau apa. Semoga Reno bisa segera menemui Nana dan menjelaskan semuanya....
Pintu terbuka dan seorang suster masuk, menyadari bahwa Reno sudah sadarkan diri,
“Anda sudah bangun rupanya.” Suster yang ramah itu tersenyum, “Anda harus benar-benar bersyukur karena selain kaki anda, tidak ada luka serius lain yang menimpa anda. Orang tua anda sudah datang dan sedang berkonsultasi dengan dokter, juga tunangan anda yang cantik. Saya akan memanggilkan mereka untuk menemui anda.”
Suster itu lalu pergi, tidak memberi Reno kesempatan untuk bertanya tentang satu pertanyaan yang menggayuti batinnya.
Suster itu tadi bilang tunangannya yang cantik menunggu di luar, dia hampir seratus persen yakin bahwa itu adalah Diandra.... tetapi benaknya mempertanyakan wanita lain, Nana... adakah Nana di luar sana untuknya?
***
“Kami sebenarnya ingin membawa Reno kembali ke Jakarta.” Mama Reno bergumam setelah mendengar penjelasan dari dokter. Mama dan papa Reno duduk di meja di depan meja dokter, sementara Diandra dan Axel duduk di kursi yang tersedia di belakang, menempel di tembok.
Dokter itu menggelengkan kepalanya,
“Saya rasa pasien harus tetap di sini sampai kondisinya pulih benar. Anda bisa membawanya pulang setelahnya.”
Mama Reno menghela napas panjang, dia amat sangat ingin membawa Reno pulang. Berada di kota ini sepertinya telah sangat membuat Reno jauh dari keluarganya, sejak kejadian dia memaksa Reno agar menerima Diandra, hubungannya dengan Reno menjadi renggang, putera satu-satunya itu menjauh, hampir tidak pernah menghubunginya kalau tidak benar-benar perlu.
Mama Reno tahu dia terlalu memaksakan hati Reno. Matanya melirik ke arah Diandra yang sedang duduk, tampak sama-sama cemas dengannya dengan saudara sepupunya yang menemaninya. Ya ampun, tidakkah semua mama di dunia ingin mempunyai menanti seperti Diandra? Menantu yang begitu cantik dan berhati baik? Mama Reno jelas-jelas menginginkan Diandra menjadi menantunya. Dia telah amat sangat mengenal Diandra karena perempuan itu adalah anak dari sahabatnya. Mama Reno bahkan sudah menggendong Diandra sejak anak itu masih kecil.
Perjodohan Diandra dengan Reno adalah impiannya, pada akhirnya dia akan menjadikan Diandra sebagai puteri kesayangannya. Mama Reno yakin Diandra adalah perempuan yang paling baik untuk Reno, karena mama Reno sangat mengenal Diandra.... jauh sekali dari perempuan tidak jelas itu, perempuan yang katanya didebarkan oleh jantung Reno dan dikejarnya setengah mati.... perempuan seperti apakah yang bernama Nana itu? Akankah dia menjadi yang baik? Dan lagipula, apakah dia perempuan baik-baik?
Dari yang diceritakan Reno, laki-laki bernama Rangga yang sekarang jantungnya ada di dada Reno itu adalah kekasih Nana, yang hampir membawanya ke jenjang pernikahan sebelum meninggal. Mama Reno tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya sejauh apa hubungan Rangga dengan Nana itu, dia dipenuhi ketidakyakinan, karena sebelum bertemu Reno, Nana sudah meletakkan hatinya kepada Rangga. Berbeda dengan Diandra, Diandra yang polos dan suci, yang sejak awal meletakkan hatinya hanya untuk Reno.
Seorang suster mengetuk pintu dan kemudian membawa kabar yang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh semuanya,
“Dokter pasiennya sudah sadarkan diri.”
***
Nana masih duduk di sana, merenung. Sebenarnya dia ingin berdiri dan mengintip ke dalam kamar tempat Reno berbaring, tetapi batinnya tak kuat. Perasaan sedihnya akan meledak kalau dia melihat lagi kondisi Reno yang terbaring tak berdaya di atas ranjang seperti itu.
Tiba-tiba rombongan itu datang lagi dari ujung lorong, Nana dan Nirina yang sejak tadi terdiam langsung menegang.
Apa yang terjadi?
“Kalian hanya boleh menemui pasien satu-satu. Dan jangan terlalu banyak, kalau bisa hanya dua orang saja ya, kondisi pasien masih lemah dan kami tidak ingin dia terlalu lelah.”
Mama Reno mengangguk, Nana melihat perempuan itu menyusut air matanya. Kelegaan memenuhi benak Nana, itu berarti Reno sudah sadarkan diri....
Mama Reno yang masuk pertama kali ke dalam sana, dan Nana menatap mereka semua, dorongan batinnya membuatnya ingin ke sana, memaksa ikut melihat Reno, tetapi dia tidak berani. Dia benar-benar seperti orang luar di sana, tidak bisa masuk ke dalam lingkaran keluarga itu.
Setelah agak lama, mama Reno keluar, tatapan matanya tampak tenang dan bahagia, tidak secemas tadi, dia kemudian meremas bahu Diandra dengan lembut,
“Masuklah Diandra.” Gumam mama Reno lembut. Diandra tampak terkejut, menatap ke arah papa Reno,
“Tapi... papa...?”
“Papa tidak apa-apa, kesempatan papa akan datang nanti setelah kondisi Reno lebih baik, lagipula papa sudah cukup senang melihat mamamu yang sekarang tampak tenang. Ayo masuklah Diandra, kami tahu kau pasti sangat ingin melihat Reno langsung.”
Diandra sangat ingin tentu saja, meskipun dia tidak tahu bagaimana reaksi Reno nanti. Dan juga, dia menerima tatapan mata tajam dan menusuk dari Axel di punggungnya.
“Baiklah, aku akan masuk.” Diandra memeluk mama Reno penuh rasa terimakasih, lalu membuka handel pintu dan melangkah masuk.
Sementara itu Nana memandang, berusaha menyingkirkan perasaan iri di benaknya. Ah ya ampun... betapa inginnya Nana menjadi seseorang yang berada di sana, bisa menengok Reno secara langsung, tetapi dia tidak berhak... dia sungguh tidak berhak....
Nirina memeluk pundaknya dan meremasnya, ketika Nana mendongak menatap Nirina dengan tatapan mata berkaca-kaca, Nirina memberinya tatapan penuh semangat. Nana akhirnya tersenyum dan menghela napas panjang.
Yah.. dia tidak boleh bersedih karena ini. Bukankah yang terpenting adalah Reno baik-baik saja dan sudah sadar di dalam sana?
***
Reno mengernyit ketika melihat Diandra masuk. Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangnya,
“Hai, bagaimana perasaanmu?”
Reno mencoba tersenyum meskipun sakit, “Pusing.” Gumamnya singkat. “Terimakasih telah menungguiku di sini, Diandra.”
Kali ini giliran Diandra yang tersenyum pahit,
“Aku tahu aku bukanlah orang yang kau inginkan untuk berada di sini. Tetapi aku ingin ada di sini Reno. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau tahu bukan bahwa aku sangat mencemaskanmu?.”
Reno menghela napas panjang, “Terimakasih Diandra... aku.. sepertinya aku baik-baik saja.”
“Kakimu patah dan di gips.” Diandra melirik ke arah kaki Reno yang dibalut gips besar.
Reno melirik ke arah yang sama dan menghela napas, “Yah, memang, kurasa aku harus membawa gips itu kemana-mana nantinya.”
“Kau tidak akan bisa kemana-mana.” Diandra setengah tersenyum, “Dokter bilang kau harus memakai kursi roda sementara sampai kakimu sembuh.”
Itu berarti Reno akan menjadi manusia invalid yang bergantung pada orang lain sampai dia bisa berjalan lagi. Reno mengernyit, tidak senang dengan ide itu.
“Aku bisa saja merawatmu kalau kau mau.” Diandra tersenyum, “Tapi sekali lagi aku tahu, bukan aku yang kau inginkan.”
Mata Reno menatap mata Diandra yang lembut itu dan kemudian tersenyum sedih.
“Aku sungguh beruntung dicintai perempuan sepertimu Diandra, sungguh-sungguh beruntung. Cintamu begitu tulus, bahkan setelah seluruh perlakuan kejamku kepadamu. Aku memang manusia jahat dan tak berperasaan, melupakan bahwa kaulah yang paling terluka di sini.” Reno mengernyit sedih, “Maafkan aku Diandra, sungguh mungkin aku tidak pantas memohon maaf kepadamu. Aku benar-benar berdosa kepadamu. Tetapi hanya itu yang bisa kukatakan kepadamu. Aku minta maaf.”
Diandra menatap Reno dengan mata berkaca-kaca.
“Mungkin dari awal aku sudah memaafkanmu.” Perempuan itu menghela napas panjang, “Hanya saja harga diriku terlalu tinggi untuk melepasmu begitu saja.” Suaranya bergetar, “Aku sudah menelaah jauh ke dalam hatiku Reno, dan kemudian aku merasakan sesuatu, perasaanku kepadamu mungkin bukanlah cinta yang sesungguhnya. Sejak kecil kedua orang tua kita telah mengkondisikan kita sebagai pasangan. Aku tumbuh besar dengan mengetahui bahwa kau akan menjadi suamiku. Aku kemudian mematrikan itu dalam benakku dan menjadikannya tujuan hidupku. Seluruh pengabdianku padamu itu karena aku menganggap bahwa aku akan melakukan segalanya untuk meraih tujuan hidupku itu, menjadi isterimu.” Diandra menatap Reno dengan tatapan mata kuat, “Segera setelah kau meninggalkanku, aku menyadari Reno, bahwa ternyata aku tidak mencintaimu sedalam itu, kau lebih seperti sebuah tujuan yang harus kuraih, sebuah obesi, bukan cinta. Jadi mungkin sekarang kau bisa tenang karena aku sudah melepaskanmu seutuhnya.”
Reno tercengang mendengar kata-kata Diandra yang tidak disangkanya itu, matanya melebar kebingungan.
“Benarkah apa yang kau katakan itu Diandra?” jadi selama ini Diandra tidak mencintainya?
“Ya Reno, jadi kau bisa tenang, dan ngomong-ngomong, orang yang sangat kau nantikan, dia ada di depan menungguimu di sana, sama cemasnya seperti kami. Mungkin nanti kau bisa bertemu dengannya.” Diandra bangkit, lalu mengecup dahi Reno dengan lembut, “Cepatlah pulih seperti sediakala dan raihlah kebahagiaanmu, Reno. Aku sendiri akan mencoba meraih kebahagiaan milikku.”
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan yang lembut, Diandra melangkah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Reno yang terpaku, tak bisa berkata-kata.
Reno tidak melihat betapa mata Diandra berkaca-kaca, terasa panas menangan tangis yang hendak merebak karena patah hati.
***
Ketika Diandra keluar dari ruangan, mama Reno masih berdiri di sana dan langsung tersenyum begitu melihatnya,
“Mama.” Diandra langsung bergumam sebelum mama Reno sempat berkata-kata, dia langsung mengedikkan kepalanya ke arah Nana, membuat mama Reno menoleh ke sana, menatap dua orang perempuan yang duduk di sudut yang hening dengan ekspresi cemas, “Yang di sana itu Nana, kurasa dia ingin menengok Reno juga.”
Ekspresi kaget tampak di wajah semua orang, tak terkecuali Axel, Nana sendiri dan Nirina.
Apa kata Diandra tadi?
0 komentar