Kadang-kadang waktu menjelma pasir pantai di genggaman tangan kita yang rapuh, menggugurkan sejumlah kesempatan dan mungkin kita tak bisa memungutnya kembali.
Sebab ada sejumlah rahasia yang tetap harus kita sembunyikan dalam kepalan, menjadi semacam tinju yang selalu urung kita lemparkan pada seratus ribu wajah kesombongan dan kemunafikan. Maka rentangkan saja tangan, bukan untuk menyerah: Biarkan angin menyambut peluk, membelai wajah yang ragu.
Sementara, simpanlah perih dalam dua mata yang terpejam, bersabarlah, barangkali memang ditakdirkan menjadi seseorang yang setiap hari harus mengeringkan air matanya sendiri.
Ada beberapa hari di bulan Desember yang membuat kita tahu bahwa pagi bisa dimulai dengan cara yang berbeda tak melulu seperti puisi. Tak ada kicau burung. Tak ada embun yang bergulir di daun-daun. Tak ada kokok ayam jantan. Tak ada hangat matahari yang cahayanya menerobos tingkap-tingkap kaca kamar tidur kita. Hanya ada rintikan hujan yang selalu menunggu. Aku akan bercerita tentang hari-hari semacam itu, tapi salah satunya saja. Ini cerita tentang Senin, seorang gadis muda pemurung yang selalu gelisah dan bertanya-tanya.
*Lagu: Efek Rumah Kaca - Desember
0 komentar